Bunga yang Mekar Setelah Hujan




Menitik beratkan pada kerinduan, bebannya tak seberapa berat dibanding perjuanganku menahan sesak saat salami kau di pelampinan bersama wanita lain. Tak mudah untuk membuang sisa kenangan yang membekas, ukiran permanen terlanjur terpampang, kalau di hancurkan, bisa ikut hatiku lebur bersamanya.

Kutatap halaman dari celah jendelaku, hujan sedang menari dengan anggun. Lenggoknya membawa butir-butir kenangan yang memudar. Desir angin yang masuk di celah ventilasi, menggelitik kulitku untuk mengingat dinginnya hari itu.

Sepulang dari pasar, hujan menghadang laju motornya. Tak ingin aku kebasahan, dia menepi di sebuah warung mie ayam. Digandengnya aku masuk, rambutku yang basah dipeganginya, hangat. Tangannya mengusapku manja, matanya memancarkan cinta dan kekhawatiran.

“Nduk, kamu gak papa? Dingin gak?”,

“Hm.. I-ya mas, lumayan dingin” jawabku malu-malu.

Perhatiannya hari itu sudah bagaikan selimut tebal berbulu, halus, nyaman dan tentunya menghangatkan. Warung mie ayam itu sangat ramai, namun dengan sigap dia menemukan celah untukku duduk. Dia berdiri sambil menghisap rokoknya, namun ia matikan sesaat setelah mendengar batuk keluar dari mulutku.

Mie ayam hari itu menjadi istimewa, berbumbu hujan dan cinta. Ah, kalau saja Tuhan tak menurunkan berkahNya, mungkin hari itu tak semanis ini. Hujan reda, dia mengajak aku pulang kemudian. Tanganku melingkar di pinggannya, punggungnya yang lebar dan nyaman itu masih teringat rasanya. Pipi ini memang manja, saat itu dia menempel erat di bajunya yang basah. Hingga terpaksa aku melepasnya, saat ia memberitahu bahwa kami sudah berada di depan rumah. Rasanya begitu singkat, belum puas aku dibuatnya.



Pertemuan kami memang tak sengaja, dan tak disangka kami akan jalan bersama. Diawali aku dan sepupuku membeli pulsa, dan rental PS di dekat sana. Lazim ketika seorang pelanggan menulis nomor HPnya sebagai catatan laporan yang sepenjaga. Hingga datang ia dengan SMS pertamanya.

Awalnya aku tak begitu niat meladeninya, namun kejujurannya membuatku tak sadar bahwa kami bertukar pesan setiap harinya. Dia mencatat nomorku dari Counter Pulsa itu, saat itu dia mengintipku dari jendela rental PS di sebelahnya. Dia ingin menyapa tapi segan, takut tak kurespon alasannya.

Kian lama, pesannya kiat hangat, sadar aku itu hanya siasat, namun tak apa, aku suka karena dia terbuka. Tak puas hanya lewat kata, dia mengajakku untuk bertatap muka. Masih ingat betul aku wajahnya yang memerah itu. Sesekali ia memalingkan muka ketika selesai bicara, biar tidak gerogi katanya. Sering bertemu dan saling melempar perhatian, akhirnya 2 hati bertambat bertautan.

Dia menyatakan cinta dengan terbata, aku menerima dengan senyum bahagia. Tatap mata kami beradu pandang, wajah kami perlahan mendekat. Napasnya mulai berat, wajahnya memerah, tapi dia pucat. Padahal aku sudah pasrah kalau dia ingin menciumku, namun urung ia perbuat. Dia tak senakal itu katanya, aku pun jadi malu sendiri mengingatnya.

Seiring waktu, hubungan kami kian dekat, kami berdua kian erat, rekat. Orang tua kami menyambut baik, hingga  1 tahun hubungan kami berjalan, rencana mulia mulai dibicarakan. Sepulang dari pasar kala itu, hujan kembali turun. Dia mampir ke rumahku, ingin pulang tapi aku larang, ibu dan bapaku juga paham, karena hujan lebat yang menghadang. Hingga dia pasrah saat bapak menyuruhnya menginap saja.

Saat Subuh kulihat wajahnya kusut, tak bisa tidur katanya. Wajar saja, mana ada yang bisa nyenyak tidur di samping calon bapak mertuanya. Dia di suruh menjadi imam namun menggelengkan kepala, belum cukup ilmu dalihnya. Namun bapakku sama kerasnya, akhirnya dia memimpin kami beribadah menghadap Sang Pencipta.

Keluarganya sangat menyayangiku, itu yang kurasakan dari perlakuan mereka. Seakan meraka sudah siap menerimaku sebagai menantunya. Berbunganya hati ini dengan segala wewangiannya. Ibunya sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Dia sangat senang kami dekat, bahkan keluarganya sudah bicara tentang masa depan dan macam macam kebahagiaannya nanti.
Dua bulan sudah dia jadi dingin, tak hangat lagi. Sunggih senyumnya nampak dipaksakan, kuminta antar ke pasarpun dia mengelak seribu alasan. Aku tak tahu apa yang terjadi, aku cuma bisa melamun di kamar, meratapi. Dia mulai membeku, tanpa kutahu apa salahku.

Padahal setahun kami merajut asa, bahtera hampir siap mengarung samudera. Tapi sang calon Nahkoda gundah, karena Kaptennya tak kunjung memberi perintah untuk kembangkan layarnya. Aku terombang ambing dalam gelisah, resah ini menenggelamkanku, apa gerangan yang terjadi padanya.

Sebagai wanita, kodratku hanya menunggu, jika tak kunjung datang niatnya, maka mahkotaku tak akan pernah kupakai. Semakin lama dia semakin dingin, kemudian kubertanya kenapa. Dia tak menjawab, malah marah dia tumpahkan. Aku terisak dalam tangis, sakit hati karena hati cintaku menghitam.

Aku pun mencurahkan semua isi hatiku pada kawanku, dia bilang pasrah saja. Dia menyarankanku untuk berpisah, dia bilang lelaki itu tak pantas untukku. Aku yang percaya menelan semua, rasanya cintaku telah berada di penghujung tiang pancung, siap diputuskan kapan saja.

Rupanya kawanku serigala berbulu domba, dia memegang kendali panggung sandiwara. Didekatinya kekasihku, dikatanya aku penipu. Cintaku berputar di telapak tangannya, tanpa sadar kami berdua jadi bonekanya. Awalnya aku masih tak percaya, kubela kawanku yang memang kupikir mengerti aku, namun semua berakhir kala suatu ketika…

Empat bulan sudah kami tak bertegur sapa, aku diterlantarkan tanpa kejelasan. Ingin kuminta akhiri saja semuanya, namun hati ini masih setengah menerima. Kulihat kasihku membonceng kawanku, dengan lengan melingkar di pinggangnya. Lututku lemas, pundakku tak kuat lagi menopang beban, suara retakan hati menggema telingaku.

Tapi entah kenapa air mata tak bisa menetes, sia sianya rasanya membuang air mata untuk ini semua. Ku paksakan untuk pulang, kukunci diri di kamarku dan terlelap perlahan. Baru saja kuhendak terseret ke alam mimpi, petir membangunkanku. Rupanya langit menggantikan aku, dia menangis dengan lantang. Teriakannya menggema, sedikit lega rasanya karena aku masih punya yang Maha Melihat dan Maha Bijaksana.

Hampir setahun sudah digantungnya aku. Dia dan kawanku semakin berani menebar kemesraan. Ibuku marah padaku, kenapa tak ada kabar bahwa kami telah pisahan. Kujawab datar bahwa aku tak diputusnya, Ibu memelukku sangat lama.

Kukunjungi rumahnya untuk ucapkan maaf dan salam perpisahan. Ibunya menangis pilu menatapku, berkali-kali ia ucapkan maaf. Ia panjatkan doa-doa mulia untukku, agar kebahagiaan menyertaiku. Sementara anaknya terlihat bahagia, pulang ke rumah menggandeng cinta barunya.

Terpaku ia membatu, kawanku hendak bicara namun terbata. Kuucapkan selamat padanya dengan berat hati, namun tetap kuusahakan senyum ini tetap menghiasi. Dia yang pengecut mendunduk malu, kemudian memanggilku setelah beberapa langkah aku menjauh.

“Nduk, mas bisa jelasin semua,”

“Cukup mas, aku cukup tahu dengan kelakuanmu dan Ana,”

“Tapi nduk, bukannya kamu?”

“Aku apa mas? Aku kenapa? Setahun aku menunggu kamu mas, tapi tak kunjung kamu datang. Setahun aku menggantung menanti kejelasan, tapi mas malah senang-senang sama sahabatku! Cukup sampai di sini mas, telan semua janjimu dulu beserta buala-bualan manis itu!”

Aku melawan kodratku, memutuskan tali kekang yang setahun membelenggu. Kukira akan terlontar maaf darinya, namun bukan maaf kudapat malah sepucuk surat undangan yang datang.

Dia menikah dengan Ana karibku, orang yang kucurhati sepanjang waktu. Orang yang memberiku saran untuk tetap kuat, untuk berpikir. Namun aku sudah mengakhir semua, jadi aku tak lagi mempersoalkan. Kuhadiri pesta itu dengan hati yang mengeras mengalahkan karang seorang diri. Orang tuaku tak sampai hati dan tak sudi untuk pergi.

Kusalami ia dengan senyum, tak lupa juga kudoakan dia bahagia dihadapan semua. Orang-orang menatapku, seorang menantu tak jadi yang menyalami calon mertuanya. Ibunya tak , kuat menahan tangis, berulang kali dia mengiba maafku.

“Maafin Feri Shin, Feri yang salah, Feri yang salah,”

“Gak ada yang salah bu, memang sudah jalannya begini,” ujarku

“Feri yang salah Shin, Feri yang salah,” ulangi ibu. Hingga akhirnya bapaknya berhasil menenangkan.

Bapak memegang pipiku, matanya merah seperti menahan tangis. Ditatapnya aku, dan kemudian pecahlah ia. Diusapnya kepalaku sambil memanjat doa mulia…

“Shinta jangan kapok main ke rumah, jenguk bapak sama ibu ya. Shinta hebat, Shinta kuat, Shinta sudah menjadi wanita mulia, Shinta pasti bahagia. Shinta masih tetap akan jadi anak bapak sama ibu, salamin sama orang tuamu yah” katanya.

Aku hanya bisa mengamini, air mataku menetes perlahan meski senyumku tetap kupertahankan. Hingga pulangnya aku, dan menangis keras dalam kamar.

Beruntung ada mas Rama yang membangkitkan aku. Kakak kelas ku zaman sekolah dulu ini dengan sabar menyembuhkanku, dan kemudian meminangku. Kami hidup sangat bahagia, ditambah lagi kami dikaruniai seorang putri yang lucu.

Hujan mulai mereda, tak sadar aku melamun mengenang masa lalu. Mas Rama yang membuyarkan lamunanku. Menyadarkanku bahwa cinta sejatiku sedang duduk di sampingku sambil membaca buku. Ku peluk lengannya dan kusandarkan pipiku dipundaknya.

“Kebiasaan deh, giliran papa nganggur di diemin. Giliran papa baca buku kamu nyender,” Protesnya.

“Gapapa dong pa, abis pundak sama punggung papa nyaman sih,” pungkasku.

“Mau baca juga?” tawarnya.

“Emang buku apa?” tanyaku.

“Novel, bagus, baca deh” sarannya.

“Aku maunya dibacain,” jawabku manja.

“Hish dasar, sini” kata ia mencolek hidungku.

“Yeey” sambutku gembira sambil merebahkan diri di sopa dan menjadikan paha suamiku sebagai bantalnya.

Tanpa sadar aku tertidur, sadar aku sudah berada di kamar berbalut selimut dengan mas Rama memelukku mesra.

“Seperti bunga yang mekar sesaat setelah diterpa hujan, butir air sisa hujan menempel padaku dan menambah keindahan”.

Terinspirasi dari kisah kawanku ******


Author : -Maul-

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »